Minggu, 10 Februari 2013

MODUL UUPK (UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN)


                                                I.  PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang “cukup baru” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun “dengungan” mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digaungkan sejak lama. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha. Tidak adanya alternatif yang dapat diambil/dipilih oleh konsumen telah menjadi suatu hal yang umum dalam dunia usaha atau industri di Indonesia.
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung di balik Standard Contract atau Perjanjian Baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara pelaku usaha dan konsumen), ataupun melalui berbagai informasi “semu” yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.
Sistem peradilan yang dinilai “rumit”, “cenderung bertele-tele” dan “relatif mahal” turut mengaburkan hak-hak konsumen dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha, sehingga adakalanya masyarakat sendiri tidak mengetahui dengan jelas apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dari atau terhadap pelaku usaha dengan siapa konsumen tersebut telah “berhubungan hukum”.
Lahirnya UU tentang Perlindungan Konsumen
Pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Indonesia telah mensahkan dan mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha. Sebagaimana tertera dalam konsiderans Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Urusan perlindungan konsumen ternyata sangat beragam dan begitu pelik. Konsumen tidak hanya dihadapkan pada suatu keadaan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, melainkan juga pada keadaan tidak dapat memilih karena adanya praktek “monopoli” oleh satu atau lebih pelaku usaha atas kebutuhan utama/vital konsumen dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Berbagai penguasaan atau monopoli atas kepentingan-kepentingan yang meliputi hajat hidup orang banyak oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sedikit banyak turut memperburuk pengejawantahan hak-hak konsumen dalam praktek.
Konsumen seringkali dihadapkan pada persoalan ketidak-mengertian dirinya ataupun ketidak-jelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan. Selain itu, konsumen juga seringkali dihadapkan pada bargaining position yang sangat tidak seimbang (posisi konsumen sangat lemah dibanding pelaku usaha). Hal tersebut tercermin dalam perjanjian baku yang sudah disiapkan secara sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen harus menerima serta menandatanganinya tanpa bisa ditawar-tawar lagi.
“Take it or leave it”
Berdasarkan kondisi tersebut, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. Namun, pemberdayaan konsumen akan sulit terwujud jika kita mengharapkan kesadaran pelaku usaha terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya menggunakan prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Artinya, dengan pemikiran umum seperti itu sangat mingkin konsumen akan dirugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adanya UUPK yang mengatur perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. UUPK justru bisa mendorong iklim usaha yang sehat serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas. Dalam penjelasan umum UUPK disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya akan tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah.

Edukasi Perlindungan Konsumen
Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah tugas dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas dari konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat dipergunakan untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian barang dan/atau jasa tertentu. Untuk itu, pendidikan tentang perlindungan konsumen menjadi suatu hal yang signifikan, tidak hanya untuk memberikan bargaining position yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakkan hak-haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak.
 Pentingnya nilai edukasi tentang perlindungan konsumen ini telah dimulai di perguruan tinggi dengan dimasukkannya mata kuliah “Hukum Perlindungan Konsumen” dalam program studi Ilmu Hukum di Indonesia.

Beberapa Pengertian Dasar
Beberapa istilah yang digunakan undang-undang dan hubungannya satu dengan yang lain, kiranya perlu dikemukakan terlebih dulu. Beberapa diperkirakan kurang jelas maknanya, sedang yang lain dianggap cukup jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan.

a.      Perlindungan konsumen
Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen? UUPK tampaknya memberikan pengertian dengan cukup luas, yaitu:
“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen” (Pasal 1 butir 1).

Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Dengan adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, sehingga memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan konsumen.

b.     Konsumen
Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
1)     Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
2)     Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
3)     Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam UUPK maupun aturan-aturan lain dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, maka yang dimaksudkan adalah konsumen akhir.
Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen (pasal 1 angka 2) sebagai berikut:
“Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan;”

Perlu dikemukakan dalam pengertian konsumen ini adalah syarat “tidak untuk diperdagangkan” yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end/ ultimate consumer), dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (intermediate consumer)
Selain sebagai pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat, yang termasuk pengertian konsumen antara lain: pembeli barang/jasa, termasuk keluarga dan tamu-tamunya, peminjam, penukar, pelanggan atau nasabah, pasien, klien dan sebagainya.

c.       Pelaku usaha
Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat undang-undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Siapakah mereka ? UUPK memberi pengertian (pasal 1 angka 3) sebagai berikut:
“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebutkan ada tiga kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari:
1)     Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan usaha, seperti perbankan, leasing, dan penyedia dana lainnya;
2)     Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain, seperti usaha restoran, catering, garment/konveksi, developer perumahan, dan lain-lain;
3)     Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa kepada masyarakat, seperti usaha retail, rumah sakit/klinik, dan lain-lain.

Sejarah Perlindungan Konsumen
Sebelum membahas masalah perlindungan konsumen, kita juga perlu memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal dimulainya hingga pada perkembangannya saat ini. Dengan menelisik sejarah ini, kita bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik ketika itu mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.
a.      Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen
Perkembangan hukum konsumen d dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Gelombang pertama terjadi pada tahun 1891, yaitu ditandai dengan terbentuknya Liga Konsumen di New York dan yang pertama kali di dunia. Baru tahun 1898, di tingkat nasional AS terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Dalam perjalanan waktu, ada banyak hambatan yang dihadapi oleh organisasi ini. Meski demikian, pada tahun 1906 lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act (pada tahun 1938, UU ini diamandemen menjadi The Food, Drug and Cosmetics Act karena adanya tragedi Elixir Sulfanilamide yang menewaskan 93 konsumen di AS tahun 1937).
Hukum konsumen berkembang lagi pada tahun 1914, yang ditandai sebagai gelombang kedua. Pada tahun ini, terbentuk komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu Federal Trade Comission (FTC). Ketika itu, keberadaan program pendidikan konsumen mulai dirasakan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi para konsumen. Maka, pada dekade 1930-an mulai gencar dilakukan penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen, yang juga dilengkapi dengan riset-riset yang mendukungnya.
Gelombang ketiga terjadi pada dekade 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumers law). Hal ini ditandai dengan pidato Presiden AS ketika itu, John F. Kennedy, di depan Konggres AS pada tanggal 15 Maret 1962 tentang “A Special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).
Jika diamati, sejarah gerakan perlindungan konsumen bermula dari kondisi di Amerika Serikat. Perlindungan hak-hak konsumen dapat berjalan seiring dengan  perkembangan demokrasi yang terjadi dalam suatu negara. Dalam negara demokrasi, hak-hak warga negara, termasuk hak-hak konsumen harus dihormati. Ada posisi yang berimbang antara produsen dan konsumen, karena keduanya mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
Setelah era ketiga, beberapa negara mulai membentuk semacam undang-undang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut:
1)      Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act (UTPCP) tahun 1967, yang kemudian diamandemen pada tahun 1969 dan 1970; Unfair Trade Practices and Consumer Protection (Lousiana) Law, tahun 1973.
2)      Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act (tahun 1968).
3)      Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1970, yang diamandemen pada tahun 1971.
4)      Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amandment Act (tahun 1971)
5)      Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act), tahun 1975.
6)      Finlandia: The Consumer Protection Act (tahun 1978).
7)      Irlandia: The Consumer Information Act (tahun 1978).
8)      Australia: The Consumer Affairs Act (tahun 1978).
9)      Thailand: The Consumer Act (tahun 1979).

b.     Perkembangan Gerakan Perlidungan Konsumen di Indonesia
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.
Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau konsumen.
Setelah itu, sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget besar untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) selalu ditunda.
Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UUPK bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 20 April 1999, RUUPK secara resmi disahkan sebagai UUPK. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan kedalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
a.      Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UUPK pasal 2, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dengan pembangunan nasional.
1.      Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2.      Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3.      Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material dan spiritual.

4.      Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5.      Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

b.     Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam UUPK pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/jasa;
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
6.      Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


II.  HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
DALAM TATA HUKUM INDONESIA

Hukum Perlindungan Konsumen yang Tersebar
Sebelum diundangkannya UUPK sebetulnya sudah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, yaitu peraturan perundang-undangan zaman Hindia Belanda yang saat ini sebagian besar sudah tidak berlaku lagi.
Selain itu, dalam Burgerlijk Wetboek (BW/KUH Perdata) juga terdapat ketentuan-ketentuan yang bertujuan melindungi konsumen, seperti tersebar dalam beberapa pasal Buku III, bab V, bagian II yng dimulai dari pasal 1365.
Dalam KUH Dagang, juga diatur tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim, ketentuan-ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga, kepailitan, dan sebagainya.
Demikian pula dalam KUH Pidana, misalnya tentang pemalsuan, penipuan, persaingan curang, dan sebagainya. Dalam hukum adatpun, ada dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen seperti prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesamanya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen. Sampai terbentuknya UUPK, sebelumnya telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, antara lain seperti:
a.      Undang-undang Nomor 10 tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
b.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
c.       Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
d.     Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
e.      Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam UUPK, karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut memuat aturan-aturan mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Selain itu, dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya Undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen, meskipun secara umum dikatakan bahwa UUPK merupakan payung yang mencoba mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
Hukum Perlindungan Konsumen dalam Tata Hukum Indonesia
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukum. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral. Dalam science tree hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust dan Consumers Protection. Jadi, hukum konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum, yaitu merupakan bagian dari “jangkauan transnasional dari hukum dagang” yang seterusnya merupakan bagian dari hukum dagang III dengan cabang besarnya hukum dagang.
Pembidangan hukum secara klasik tidaklah mungkin lagi dipertahankan secara utuh mengingat perkembangan ilmu hukum dewasa ini, dan semakin besarnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat secara terprogram. Konsekuensi munculnya cabang hukum ekonomi/hukum bisnis merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Jadi, pemikiran secara science tree hanya mungkin dipertahankan secara terbatas. Artinya, antara satu cabang atau ranting dan cabang atau ranting lainnya hanya dipandang sebagai pembedaan bukan sebagai pemisahan. Dengan pola pikir ini, maka hukum konsumen harus diberi kedudukan yang setara dengan bidang hukum lainnya, dan sebagai suatu cabang penuh dari batang ilmu hukum.
Dalam dunia ilmu hukum sering dikacaukan antara hukum konsumen (consumer law, consumer protection law) dan hukum persaingan (competition law, anti trust law). Bahkan dalam science tree digabung menjadi satu. Kekacauan itu dapat dipahami karena setiap adaa persaingan yang tidak sehat (unfair competition) akan berakibat timbulnya kerugian bagi pihak pesaing maupun tersaing dan juga konsumen.
Deferensiasi ini dapat didasari dua patokan. Pertama, dari sudut obyek yang disorot. Ada bagian yang disorot secara bersama-sama oleh kedua bidang tersebut, tetapi ada bagian yanag hanya disorot oleh salah satunya. Misalnya, hukum tentang tanggungjawab produksi (product liability) yang hanya merupakan bidang hukum konsumen. Kedua, dari sudut fokus perlindungan yang dituju. Hukum persaingan lebih mangarah kepada pihak tersaing, sedangkan hukum konsumen tertuju kepada perlindungan pihak konsumen. Hal ini akan menyebabkan perbedaan perangkat hukum yang disediakan masing-masing cabang hukum tersebut. Misalnya, hukum konsumen mengenai gugatan kelompok (class action) yang tidak ada pada hukum persaingan.
Berdasarkan hal di atas dapat dikatakan bahwa antara hukum konsumen dan hukum persaingan mempunyai interrelasi yang bersifat kausal. Secara global, keduanya saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan satu dengan lainnya.
Dari gambaran di atas terlihat betapa sempit dan tidak berartinya kedudukan hukum konsumen dalam tata hukum Indonesia. Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa hukum konsumen lambat perkembangannya, dan luput dari perhatian dari para ahli hukum.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah (setelah selama 20 tahun diperjuangkan), yaitu pada tanggal 20 April 1999.
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UUPK, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum, sebagai berikut:
1)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional;
2)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
3)      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat;
4)      Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar;
5)      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
6)      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat;
7)      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 608/MPP/Kep/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan;
8)      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen;
9)      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat;


III.  HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting, agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
UUPK ternyata tidak hanya mencantumkan hak dan kewajiban dari konsumen saja, melainkan juga hak dan kewajiban dari pelaku usaha. Namun, kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen (pasal 4) lebih banyak dibandingkan dengan hak yang diberikan kepada pelaku usaha (pasal 6), dan kewajiban pelaku usaha (pasal 7) lebih banyak dari kewajiban konsumen (pasal 5).
Hak Konsumen
Berdasarkan UUPK pasal 4, hak-hak konsumen adalah sebagai berikut:
a.        Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.        Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.         Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.       Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.        Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.          Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.        Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.        Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.          Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari 9 butir hak konsumen tersebut, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Selanjutnya, untuk menjamin hal tersebut maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan, yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
Hak-hak konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak dasar tersebut pertama kali dikemukakan oleh Presiden AS  John F. Kennedy, di depan Konggres AS pada tanggal 15 Maret 1962 tentang “A Special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).
Deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basic right) yang meliputi hak-hak sebagai berikut:
1)      the right to safe products: hak untuk mendapatkan produk yang aman;
2)      the right to be informed about products: hak untuk mendapatkan informasi tentang produk;
3)      the right to definite choices in selecting products: hak untuk memilih produk yang dikehendaki;
4)      to be heard regarding consumer interests: hak untuk didengar pendapat/ keluhannya.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen (Ps. 5 UUPK) adalah:
a.        membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.        beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.         membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.       mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Adanya kewajiban tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.


IV.  HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Pada uraian bab IV telah disebutkan bahwa ketentuan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dalam UUPK diatur dalam pasal 6 (tentang hak pelaku usaha), dan pasal 7 (tentang kewajiban pelaku usaha).
Hak Pelaku Usaha
Hak Pelaku Usaha (Ps. 6 UUPK) adalah:
a.        hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.        hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.         hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.       hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.        hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak pelaku usaha dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen.
Kewajiban Pelaku Usaha
Kewajiban Pelaku Usaha (Ps. 7 UUPK) adalah:
a.        beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.        memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.         memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.       menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.        memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.          memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.        memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha merupakan konsekuensi dari hak-hak konsumen. Jika disimak baik-baik, nampak bahwa kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak-hak konsumen dalam sisi lain yang 'ditargetkan' untuk menciptakan "budaya" tanggungjawab pada diri para pelaku usaha.


V.  LARANGAN BAGI PELAKU USAHA

Dalam pembahasan sebelumnya, jelas bahwa UUPK mencoba untuk mendefinisikan pelaku usaha secara luas. Para pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK tersebut tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), importir, serta para pelaku usaha periklanan.

Pelaku Usaha Pabrikan dan Distributor
Meskipun secara prinsip, kegiatan pelaku usaha pabrikan dengan pelaku usaha distributor berbeda, namun Undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pelaku usaha tersebut, demikian juga berbagai larangan yang dikenakan untuk keduanya. Sedikit perbedaan tetapi cukup signifikan adalah sifat saat terbitnya pertanggungjawaban terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha terhadap para konsumen yang mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diberikan.
Pertanggungjawaban berkaitan erat dengan macam dan jenis ganti rugi yang dapat dikenakan bagi pelaku usaha yang melanggar satu atau lebih ketentuan dalam Undang-undang ini. Dalam hukum pembuktian, saat lahirnya atau hapusnya pertanggungjawaban dari satu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan. Hal tersebut dimaksudkan, agar tidak merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya, sehingga dapat tercipta asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum bagi semua pihak.

Berbagai Larangan yang Dikenakan
Kegiatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK, yang terdiri dari 10 pasal (pasal 8 sampai dengan pasal 17). Dari keseluruhan pasal tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya seluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga dikenakan bagi pelaku usaha distributor. Namun, tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan/atau jaringannya) dikenakan bagi pelaku usaha pabrikan.
Pada dasarnya UUPK tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha, sepanjang para pelaku usaha tersebut menjalankannya secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memakai atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diberikan tersebut.
Ketentuan pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha pabrikan atau distributor. Secara garis besar, larangan yang dikenakan dalam pasal 8 UUPK dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:
1.      Larangan mengenai produk yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan, digunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen;
Kelayakan produk merupakan “standar minimum” yang harus dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi/dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
2.      Larangan mengenai informasi yang tidak benar dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.
Informasi tentang produk merupakan hal penting bagi konsumen, karena dari informasi tersebut konsumen bisa menentukan pilihan atas suatu barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu, para pelaku usaha harus memberikan informasi yang sebenar-benarnya tentang produk yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Pelaku Usaha Periklanan
Pelaku usaha periklanan dalam menjalankan usahanya harus mentaati ketentuan UUPK pasal 9, pasal 10, pasal 12, dan pasal 13 yang berhubungan dengan berbagai larangan dalam mempromosikan produk, serta ketentuan pasal 17 yang khusus diperuntukkan bagi perusahaan periklanan.
Tentang usaha periklanan ini, selain diatur dalam UUPK, ada beberapa kode etik yang berlaku dalam dunia public relation/kehumasan, antara lain:
1.      IPRA (International Public Relation Association) Code of Conduct;
2.      Kode Etik Kehumasan Indonesia (KEKI);
3.      Kode Etik Penerangan;
4.      Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI).


VI.  PERJANJIAN BAKU

Pada uraian sebelumnya dikatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk “secara proporsional dan seimbang”, menentukan sendiri pilihan akan barang/jasa yang hendak dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan olehnya.
Sebagai pengejawantahan dari hak tersebut UUPK mempertegas dengan:
§  Mencantumkan berbagai kewajiban pelaku usaha;
§  Mengatur berbagai larangan kepada pelaku usaha (pabrikan, distributor dan periklanan)
Larangan-larangan tersebut bertujuan untuk:
§  Barang/jasa layak untuk dikonsumsi;
§  Barang/jasa sesuai dengan kehendak dan kemampuan konsumen secara ekonomis
Seluruh larangan mengenai kelayakan barang/jasa yang ditawarkan atau diperdagangkan berikut informasi yang disediakan mengenai barang/jasa tersebut merupakan awal dari seluruh proses “pengkonsumsian” barang/jasa tersebut oleh konsumen.
Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pelaku usaha atas barang/jasa yang ditawarkan atau diperdagangkan tersebut, konsumen selanjutnya dapat memutuskan untuk memakai, mempergunakan, atau memanfaatkan suatu barang/jasa sesuai dengan kebutuhannya.
Jika keputusan telah dijatuhkan, berarti terjadilah transaksi “perdagangan barang/jasa antara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan hukum dan transaksi yang dilakukan antara pelaku usaha dan konsumen tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hubungan hukum “jual-beli”, dimana konsumen bertindak selaku “pembeli” dari barang/jasa yang “dijajakan” oleh pelaku usaha selaku pihak “penjual”.
Hubungan hukum ini, meskipun sering tidak diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian yang tertulis, sepanjang telah memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata adalah sah dan mengikat bagi konsumen dan pelaku usaha.


Perjanjian pada umumnya
§  Definisi perjanjian (pasal 1313 KUH Perdata): suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
§  Syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 KUH Perdata):
1.      sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2.      kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.      suatu hal tertentu;
4.      suatu sebab yang halal.
§  Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama keempat unsur di atas terpenuhi.
Perjanjian Baku
§  Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak. Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.
§  Dalam dunia usaha, keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya.
§  Bersifat “baku” karena baik perjanjian maupun klausula tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take or leave it !
Ketentuan pencantuman klausula baku
§  Karena bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah pelaku usaha, maka UUPK perlu mengatur mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.
§  Definisi klausula baku (pasal 1 UUPK): setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
§  Pasal 18 UUPK tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku secara prinsip mengatur dua macam larangan:
-          Ayat (1): larangan pencantuman klausula baku
-          Ayat (2): mengatur bentuk atau format serta penulisan perjanjian baku yang dilarang
Pada prinsipnya UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK.


VII.     TANGGUNGJAWAB HUKUM PELAKU USAHA DAN GANTI RUGI KEPADA KONSUMEN

Tanggungjawab Hukum
Pada bab sebelumnya, secara berturut-turut dibahas berbagai larangan bagi pelaku usaha dan perjanjian baku. Dari kedua bahasan tersebut diketahui bahwa:
-          konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan;
-          konsumen semata-mata bergantung pada informasi yang diberikan pelaku usaha;
-          mayoritas penduduk masih berpendidikan rendah, sehingga bila informasi diberikan tanpa disertai edukasi akan kurang bermanfaat.
Sebagai konsekuensi hukum dari pelarangan yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen, memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut.
Product Liability
Jika berbicara soal pertanggungjawaban hukum, kita juga harus berbicara soal ada tidaknya kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu.
“Products liability are the liability of manufacturers and other persons for defective products.”
(Pertanggungjawaban Produk adalah pertanggungjawaban pabrikan dan pelaku usaha lain terhadap produk yang cacat/rusak).
Pelaku usaha yang bertanggungjawab terhadap produk rusak/cacat antara lain:
1). Produsen (a.l. pabrikan, termasuk produsen komponen dan bahan mentah);
2). Seseorang yang menuliskan namanya atau merek dagang pada produknya;
3).  Importir;
4).  Supplier.
Wanprestasi dan/atau Perbuatan Melawan Hukum
Asas umum hukum perdata adalah: siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut.
Perbuatan yang merugikan dapat lahir karena:
  1. Tidak ditepatinya perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (wanprestasi);
  2. Semata-mata lahir karena perbuatan tersebut (perbuatan melawan hukum).
Kedua hal tersebut mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda:
  1. Wanprestasi, perikatan dibuat sebelum terjadinya perbuatan salah satu pihak yang tidak menepati perjanjian yang telah disepakati;
  2. Perbuatan melawan hukum, perikatan lahir pada saat perbuatan yang merugikan tersebut dilakukan (ps. 1353 KUH Perdata).
Tanggungjawab Pelaku Usaha menurut UUPK
Diatur khusus dalam Bab VI, terdiri atas 10 pasal:
a.       Tujuh pasal mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha (ps 19, 20, 21, 24, 25, 26 dan 27);
b.      Dua pasal mengatur pembuktian (ps. 22 dan 28);
c.       Satu pasal mengatur penyelesaian sengketa (ps 23).
Pembuktian Terbalik
Berdasarkan ps 163 HIR dan ps 1865 KUH Perdata maka setiap pihak yang mendalilkan adanya sesuatu hak, maka pihak tersebut harus membuktikannya. Jadi bila konsumen menuntut haknya terhadap pelaku usaha yang merugikannya, maka konsumen tersebut yang harus membuktikan.
Namun dalam UUPK (ps. 22 dan ps. 28), kewajiban pembuktian tersebut “dibalikkan” (pembuktian terbalik) menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha sepenuhnya. Jadi ketentuan mengenai tanggungjawab dan ganti rugi dalam UUPK merupakan lex spesialis terhadap ketentuan umum yang ada dalam KUH Perdata.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila konsumen mengajukan gugatan hukum:
a.       Penentuan pelaku usaha yang akan digugat, produsen, distributor, importir, retail atau perusahaan periklanan;
b.      UUPK tidak mengenal konsep Product Liability;
Jenis produk (consumer goods) yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawabannya.


VIII.  PENYELESAIAN SENGKETA/PERSELISIHAN

Umum
UUPK memberikan alternatif penyelesaian sengketa/perselisihan melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), selain melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.
Penyelesaian sengketa dalam UUPK diatur dalam Bab X yang terdiri dari empat pasal (ps. 45, 46, 47 dan 48). Sedangkan mengenai BPSK diatur dalam Bab XI yang terdiri dari sepuluh pasal (ps. 49 sampai dengan ps. 58).
Penyelesaian sengketa dalam UUPK (pasal 45) mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
§  Penyelesaian sengketa di luar atau melalui pengadilan;
§  Merupakan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa;
§  Penyelesaian di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggungjawab pidana;
§  Pilihan tunggal.
Gugatan atas Pelanggaran Hak Konsumen
Menurut UUPK pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang merasa dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum.
UUPK pasal 46 ayat 1 menyebutkan, bahwa ada empat kelompok yang bisa mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
a.       Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya;
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan sama;
c.       Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);
d.      Pemerintah dan/atau instansi terkait.
Seorang konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha bisa melakukan gugatan baik melalui lembaga di luar pengadilan ataupun melalui peradilan umum. Sedangkan gugatan yang diajukan sekelompok konsumen (class action), LPKSM, atau pemerintah diajukan kepada peradilan umum (UUPK pasal 46 ayat 2).
Class action atau gugatan kelompok atau gugatan perwakilan kelompok merupakan cara mengajukan gugatan oleh satu orang atau lebih, yang bertindak mewakili kepentingannya sendiri dan sekaligus bertindak sebagai perwakilan kelompok (class representatif) mewakili kepentingan puluhan atau ratusan atau ribuan orang lainnya yang menjadi korban, yang merupakan anggota kelompok (class member) terhadap orang atau orang-orang atau badan hukum, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dengan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a PERMA No. 1 Tahun 2002).
Gugatan kelompok atau class action harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur pada Pasal 2 PERMA No. 1 Tahun 2002, sebagai berikut:
1.      Numerosity, yaitu
2.      Commonality, yaitu
3.      Tipicality, yaitu
4.      Adequacy of Representation, yaitu
Bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen
Menurut UUPK pasal 45 ayat 2, “Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau di luar jalur pengadilan.
a.      Penyelesaian di luar pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen (UUPK pasal 47).
Ada dua cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, yaitu:
1.      Upaya damai oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa secara damai adalah upaya penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau BPSK, dan tidak bertentangan dengan UU tentang Perlindungan Konsumen.
2.      Melalui BPSK dengan mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution) berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu sebagai berikut:
§  Konsiliasi: mempertemukan pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis bertindak pasif sebagai konsiliator.
§  Mediasi: BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Majelis bertindak aktif sebagai mediator.
§  Arbitrase: para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada BPSK/Majelis
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada pasal 45 ayat 2 UUPK, tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
b.     Penyelesaian melalui pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45 UUPK.


Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di daerah kabupaten/Kota untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang, serta penyelesaian sengketa oleh BPSK dapat ditemukan secara khusus dalam Bab XI UUPK, mulai pasal 49 sampai pasal 58.
IX.  SANKSI TERHADAP PELANGGARAN UUPK

Secara prinsip hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen adalah hubungan hukum keperdataan.
Pasal 57 ayat (4) dan (5) menyatakan bahwa putusan BPSK yang tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti selain hubungan keperdataan antara pelaku usaha dan konsumen, UUPK juga mengenakan sanksi pidana bagi pelanggar UUPK. Pasal 45 ayat (3), bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
1.      Sanksi administratif;
2.      Sanksi pidana pokok;
3.      Sanksi pidana tambahan.
1.   Sanksi Administratif
-          Hak khusus BPSK yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melanggar pasal 19 ayat (2) dan (3), pasal 20, pasal 25, dan pasal 26;
-          Berupa penetapan ganti rugi paling banyak 200 juta rupiah;
-          Tata cara penetapan diatur dalam peraturan perundang-undangan
2.   Sanksi Pidana Pokok
-          Pasal 61: terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya;
-          Pasal 62 (1): pelanggar UUPK pasal 8, 9, 10, 13(2), 15, 17(1) hrf a, b, c, e, 17(2), dan ps 18, pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 2 milyar rupiah;
-          Pasal 62 (2): pelanggar UUPK pasal 11, 12, 13(1), 14, 16, dan 17(1) hrf d dan f, pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah;
-          Pasal 62 (3): pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian dikenai sanksi sesuai ketentuan pidana yang berlaku.
3.   Sanksi Pidana Tambahan
Pasal 63 UUPK memungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan disamping sanksi pidana pokok sesuai pasal 62, yaitu antara lain:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang merugikan konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran;
  6. pencabutan ijin usaha.


X.  BADAN/LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (pasal 29), dikatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut meliputi upaya untuk:
a.      terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.      berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.       meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Hal ini berarti bahwa Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen juga mengakui adanya hak konsumen untuk membentuk organisasi yang dianggap dapat membantu maupun melindungi kepentingan mereka dalam berhadapan maupun berdialog dengan pelaku usaha. Selain itu juga untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan, bersama-sama dengan pemerintah.
Dalam bab ini akan dibahas tentang organisasi atau lembaga atau badan, serta fungsi, tugas, susunan organisasi maupun keanggotaannya, yang dapat dibentuk berdasarkan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Salah satu badan yang diatur secara khusus dalam UUPK adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. BPKN ini berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada presiden.
Sesuai dengan fungsinya maka BPKN mempunyai tugas sebagai berikut:
a.      memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.      melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.       melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.     mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.      menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.        menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.      melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur-unsur:
a.   pemerintah;
b.   pelaku usaha;
c.   lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.   akademisi; dan
e.   tenaga ahli.
Anggota BPKN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dengan masa jabatan selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Ketua dan wakil ketua BPKN dipilih dari dan oleh anggota. Adapun persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.   berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, pasal 39 UUPK memungkinkan BPKN untuk membentuk sekretariat BPKN, yang dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua BPKN. Adapun fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat diatur dalam keputusan Ketua BPKN.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam Bab VIII UUPK, memungkinkan dibentuknya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). LPKSM tersebut diberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
Dalam rumusan pasal 44 ayat (3) UUPK, dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.      menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.       bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.     membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.      melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.


XI.  PENUTUP

Masalah perlindungan konsumen memang masalah lama dengan pendekatan baru. Harus diakui bahwa dalam hal ini, kita masih tertinggal dari negara-negara lain. Berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti berbicara tentang salah satu sisi dari korelasi antara lapangan perekonomian dan lapangan etika. Disinilah peran sektor yuridis sebagai faktor penjamin agar arus transformasi etika ke dalam batang tubuh perekonomian tetap dapat terpelihara.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya diharapkan menjadi payung “integrasi” dari seluruh ketentuan perlindungan konsumen bagi pihak konsumen, tetapi lebih jauh lagi, undang-undang tersebut dapat menjadi payung “legislatif” dan acuan bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya yang secara parsial melindungi kepentingan konsumen terhadap bidang-bidang tertentu. Dengan demikian, seluruh hak-hak konsumen, serta semua instrumen yang dapat dipergunakan untuk menegakkan hak-hak tersebut, diharapkan dapat diakui sepenuhnya. Dengan adanya perlindungan konsumen ini diharapkan seluruh masalah konsumen yang sering didekati secara parsial, dapat didekati secara terpadu dan utuh (komprehensif), dan juga mengintegrasikan seluruh ketentuan perlindungan konsumen yang diatur secara parsial dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagaimana telah dijabarkan bahwa UUPK pada prinsipnya lebih mengutamakan perlindungan dari hak-hak konsumen sebagai hak-hak dasarnya dengan tujuan untuk mencapai keadilan. Peraturan ini diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen yang pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.
Walaupun kita terlambat dalam perumusan UUPK ini, kita harus mengejar kemajuan negara lain dengan lebih menekankan pada fungsi hukum sebagai sarana ketertiban, tanpa mengabaikan fungsi pokoknya sebagai sarana keadilan.
UUPK ini memang perlu disosialisasikan lebih lanjut, agar dapat menjawab dan menyesuaikan keinginan pembuat undang-undang, seperti apa yang tercermin dari konsiderannya, dengan kepentingan masyarakat luas pada umumnya sebagai konsumen yang harus dilindungi. UUPK ini memang sengaja dibentuk atas beberapa pertimbangan, antara lain karena ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai, sehingga perlu adanya perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha demi terciptanya perekonomian yang sehat.


DAFTAR PUSTAKA


Nugroho, Susanti A., Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Susanto, Happy, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia, Jakarta, 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, CV. Tamita Utama, Jakarta, 2002.




LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   :     a.   bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
b.   bahwa pembangunan perekonomian nasional opada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/ jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
c.   bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar;
d.   bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab;
e.   bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
f.    bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perUndang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
g.   bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang perlindungan konsumen.

Mengingat     :     Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945.

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan :     UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.   Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen;
2.   Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan;
3.   Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi;
4.   Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen;
5.   Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen;
6.   Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
7.   Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8.   Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
9.   Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
10.       Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12.       Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan :
a.   meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.   mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.   meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.   menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.   menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.    meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.




BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a.   hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.   hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.   hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.   hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.   hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.    hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.   hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.   hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.    hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan lainnya.

Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a.   membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.   beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.   membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.   mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a.   hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.   hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.   hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.   hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.   hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perUndang-undangan lainnya.

Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.   beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.   memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.   memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.   menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.   memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.   memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.   tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perUndang-undangan;
b.   tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.   tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.   tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.   tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.    tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.   tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.   tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.    tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j.    tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a.   barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.   barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.   barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d.   barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e.   barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.    barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.   barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.   barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.    secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.    menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k.   menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a.   harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b.   kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.   kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.   tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.   bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a.   menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.   menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.   tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.   tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e.   tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f.    menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1)  Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a.   tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.   mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c.   memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.   mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a.   tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.   tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.   mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.   mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.   memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.   tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.   mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.    melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perUndang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a.   menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.   menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.   mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.    memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.   menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.   menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2)  Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
(3)  Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a.   pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b.   pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
(2)  Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a.   tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.   tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
a.   barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.   cacat barang timbul pada kemudian hari;
c.   cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.   kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e.   lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab pelaku usaha.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2)  Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:
a.   terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.   berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.   meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perUndang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perUndang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Pasal 34
(1)  Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.   memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b.   melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perUndang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c.   melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.   mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.   menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.    menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.   melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2)  Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a.   pemerintah;
b.   pelaku usaha;
c.   lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d.   akademis; dan
e.   tenaga ahli.

Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a.   warga negara Republik Indonesia;
b.   berbadan sehat;
c.   berkelakuan baik;
d.   tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.   memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.    berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a.   meninggaldunia;
b.   mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.   bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d.   sakit secara terus menerus;
e.   berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f.    diberhentikan.

Pasal 39
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 40
(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a.   menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.   memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.   bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.   membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e.   melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.   seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.   kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.   lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.   pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49

(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.   warga negara Republik Indonesia;
b.   berbadan sehat;
c.   berkelakuan baik;
d.   tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e.   memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.    berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:
a.   ketua merangkap anggota;
b.   wakil ketua merangkap anggota;
c.   anggota.

Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a.   melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b.   memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c.   melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.   melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
e.   menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.    melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.   memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.   memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i.    meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.    mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.   memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.    memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 54
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan majelis final dan mengikat.
(4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.

Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.

Pasal 56
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perUndang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Pasal 57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.

Pasal 58
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.


BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.   melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.   melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c.   meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
d.   melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.   melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

BAB XIII
S A N K S I
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perUndang-undangan.

Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.   perampasan barang tertentu;
b.   pengumuman keputusan hakim;
c.   pembayaran ganti rugi;
d.   perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.   kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f.    pencabutan izin usaha.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perUndang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd.


BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE




Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA


ttd.


AKBAR TANDJUNG




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
I. UMUM
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batasbatas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa Undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
a.   Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
b.   Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c.   Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokokpokok Pemerintahan di Daerah;
d.   Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e.   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f.    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g.   Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h.   Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i.    Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j.    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k.   Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l.    Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n.   Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987;
o.   Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
p.   Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
q.   Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r.    Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s.   Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t.    Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAK) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 97 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Dikemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya Undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuanketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.



mahasiswa (UNIVERSITAS SUNAN BONANG TUBAN) 

1 komentar:

  1. Casinos near Hollywood, LA - Mapyro
    Hotels 1 경산 출장안마 - 12 of 영천 출장안마 67 — Looking for hotels near Hollywood Casino Hollywood? 제주도 출장샵 Search for hotels near Hollywood 원주 출장샵 Casino Hollywood in Laughlin? 용인 출장안마

    BalasHapus